Cerita Dewasa – Umurku
sekarang sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang,
meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun
aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong
orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku
sekarang. Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih
menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain.
Kisahku sebagai petualang ini, dimulai
dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih
kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Agus, sahabatku di sekolah.
Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall sekedar menghilangkan
kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola
habis-habisan. Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah
pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota
yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa).
Jalan ke Mall dari rumah Agus melewati
tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung
pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus
selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di
dekat situ, pengin nelpon ke rumah Agus, memastikan dia sudah berangkat
atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang sudah
ada, tapi itupun kami tidak punya).
“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan
di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar
terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya
kuputuskan untuk ke rumah Agus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol,
karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall tujuan kami,
belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku
mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada
penjual di warung kalau-kalau Agus datang, aku langsung menyetop angkot
dan menuju ke rumah Agus.
Sesampai di rumah Agus, kulihat
suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Agus
(Papa, Mama dan adik-adik Agus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol
di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah
celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Agus keluar
dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana
yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Agus, begitu juga
sebaliknya Agus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku
sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Agus, termasuk pembantu
dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante April, mama Agus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante April lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante April lagi sambil melambai ke arahku.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante April lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante April lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut
membuat Tante April tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk
di teras, sementara Tante April masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul.
Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang
mesti diselesaiin,” jawab Tante April. “Emangnya Agus nggak ngasih tahu
kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit
terheran-heran. Tidak biasanya Tante April menyebutku dengan “kamu”.
Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante April membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante April meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Kok bengong!” Tanya Tante April membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante April meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi
dulu.. bau,” kata Tante April sambil tersenyum. Setelah itu Tante April
dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca
koran yang ada di meja untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian
membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante April nampak keluar
dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana
ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun
badannya masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah
mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa
kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante April tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante April tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante April tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante April tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar
itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante April lagi.
Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata
Tante April sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante April.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante,
habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja
mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih
dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih
kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu
lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak
konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante April.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante April tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante April nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante April memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante April tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante April nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante April memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante April
menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil
memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang
dilakukan Tante April setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat
bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama
kemudian disusul Tante April yang keluar lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah
sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat
kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar
lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang
seperti yang disuruh Tante April. Kemudian aku disuruh duduk menyamping
dan Tante April duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante April sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante April kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante April membuka kaosku.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante April sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante April kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante April membuka kaosku.
Setelah itu Tante April kembali
memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit
punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan
hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan
kadang menekan punggungku. Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh
payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku
itu adalah sepasang payudara Tante April.
Beberapa lama aku berada dalam situasi
antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku
merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku
terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante
April.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku
sendiri tahu maksud kataku itu. Tante April seperti tidak
mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka
kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam
tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan
merasakan Tante April mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa.
Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar
sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul
keluar dan Tante April sudah menggenggamnya sambil sesekali
membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil
sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante April.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan
kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk
ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala
penisku sudah masuk ke mulut Tante April, sementara tangannya naik turun
mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis
keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai
mengejang. Aku merasakan Tante April melepaskan penisku dari mulutnya,
tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil
mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan
hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante April berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante April, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante April lagi.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante April berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante April, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante April lagi.
Setelah itu aku lihat Tante April
melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku
terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. Dan Tante April
seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia
mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam
lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante April.
“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku
menembus vagina Tante April diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante
April bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya
terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante April bergerak
naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai
menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan
yang luar biasa. Tak lama kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante
April melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali
merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante April terkulai,
merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok.
Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan
seandainya Agus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi
pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.
Namun selain rasa takut dan bersalah,
ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang
Tante April dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari,
sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan
keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante April lakukan
padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan
juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Agus. Tentu
saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti
itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai
drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk
sekolah. Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim
sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk
mengikuti latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu,
aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte
yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di
depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte
yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman
sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku
dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku.
Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus. Setelah
memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante April yang
mengendari mobil itu, dan sendirian.
“Dik, cepetan masuk, ntar keburu
ketahuan yang lain,” panggil Tante April sambil membuka pintu depan
sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante April lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante April, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante April sambil langsung menjalankan mobilnya.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante April lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante April, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante April sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante April beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Agus,” Tanya Tante April tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab Tante April.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab Tante April.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam.
Tante April mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah
sampai di sebuah komplek pertokoan Tante April melambatkan mobilnya
sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah
memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari
pusat pertokoan, Tante April mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante April langsung
menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia
bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung
memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi, Tante April
memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia
menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah
kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran
sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung
aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti
tante nyusul,” kata Tante April memberikan kunci kamar hotel sambil
setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih
langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke
resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor
seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar,
namun hanya duduk-duduk saja di situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar
ketukan di pintu kamar, ternyata Tante April. Dia langsung masuk dan
duduk di pinggir ranjang.
“Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante April menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante April terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante April, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante April menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante April terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante April, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
Akhirnya Tante April cerita panjang
lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar
karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang
kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta
beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah
kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke
rumah minggu kemarin. Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang
penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang,
pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante April lirih
sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku
mencegah. “Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam
kesedihan.” Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa
bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante April, aku elus-elus
kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante April kemudian
memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di
samping Tante April. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya
dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya. Kemudian,
entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu.
Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar
juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan
makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante April yang
masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya.
Tante April pun melakukan hal yang sama padaku.
Tante April sepertinya kurang puas
bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju
seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia
melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain
luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat
Tante April telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku
jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku
langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala
Tante April membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante April manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante April, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante April tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante April itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante April, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante April tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante April itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante April membantuku
membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku
kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua
buah dada Tante April yang cukup besar itu, sedang Tante April mulai
mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante
April mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri.
Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati
mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante April makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante
April bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas
buah dadanya aku mainkan, Tante April mendorong tubuhku pelan ke
belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke
arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante April sengaja menjatuhkan
dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya,
sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai. Setelah itu, dia
berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap Tante
April kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri
memelototi pemandangan di depanku. Tante April yang telentang dengan
nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya
yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti
menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Bibir
vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku
belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang
kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang
bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante April
yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku
menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang
vaginanya. Tapi, Tante April menahanku. Nampak dia menggeleng sambil
memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus
didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang
vaginanya. Setelah itu Tante April berusaha agar mulutku menempel ke
vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan
sangat asing bagiku, aku agak melawan.
Mengetahui aku tidak mau mengikuti
kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke
ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya
tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.
“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat
vagina Tante April ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante April
memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya
digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak
karuan. Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante
April, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara
naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina
Tante April.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang…
oh… ” gerakan Tante April makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia
memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar
biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante April. Aku merasakan kepala
penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang
penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun
gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua
pantat Tante April yang persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti
itu, Tante April mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi
tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang
tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante April diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante April diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.
Tante April bergerak naik turun sambil
mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah
Tante April, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada
Tante April yang semakin menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi
Tante April itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang.
Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke
badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante April ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya
sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping
tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian
menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong
keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante April terus membelai rambut
dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku
mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian
aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante
April menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai
puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak
kenikmatan, aku dan Tante April terus ngobrol sambil tetap berpelukan
yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante April banyak
memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta
bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante April mengajak
pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali
lagi. Tapi Tante April berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa
menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap
seperti biasa, terutama pada Agus. Dan kamu harus kembali ke tim
sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante April memakai
pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante April dan tak
lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante April memberiku
ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan
kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim
sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola
itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante
April menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan
kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami
melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang
lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya
memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang
lain, terutama keluarga Tante April.
Sejak itu pula aku mengalami perubahan
yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek.
Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek,
mulai dikenal sebagai play boy. Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik
dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa
di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat
saya ceritakan petualangan saya tersebut).
Begitulah kisah awalku dengan Tante
April, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke
depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante April,
meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali. Meskipun dari segi
daya tarik seksual Tante April sudah jauh menurun, namun aku tidak mau
melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante April tidak pernah berhubungan
dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.
Begitulah, Tante April yang terjepit
antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial
yang harus selalu dijaga.