Olah Raga paling gokil paling mesum oleh fans487
Cerita Dewasa – Aku
baru saja pulang dari KKN di desa, di daerah Kabupaten Blora (sekarang
masuk Kabupaten Cepu), dua hari setelah sampai di rumah, ada telepon
dari salah satu sepupuku, katanya dia sedang Study Tour ke kotaku.
Sepupuku ini masih sekolah di SMK di daerah Madiun, sebenarnya aku belum
pernah bertemu langsung dengan dia, jangan heran ya, sebab dia sepupu
jauh sekali.
Sepupuku ini baru sempat bertemu dengan
orang tuaku dan kakakku saja sewaktu mereka pergi ke daerah asal
sepupuku di Jawa Timur. Nah, ketika dia Study Tour ke kotaku, dia ingin
mampir dan menginap di rumahku, terus dia minta dijemput di depan salah
satu bank di dekat Jalan yang jadi trade marknya kotaku. Maka, aku
bersama kakakku menjemput dia.
Jam 4:25 sore, aku sampai di depan bank
tersebut. Mobil kuparkir, lalu aku bersama kakakku sambil membawa dua
payung menghampiri bis-bis yang diparkir di depan bank, agak lama juga
aku mencari sepupuku ini, maklum aku belum pernah bertemu dia dan
kakakku sendiri agak lupa dengan wajahnya. Setelah kurang lebih 5 menit,
akhirnya bertemu juga. Kemudian kami pulang ke rumahku, dia senang
sekali bisa bertemu denganku.
Awalnya dia berencana mau menginap 1
hari tetapi kemudian dirubah jadi 2 hari. Sepupuku ini tidak punya
saudara laki-laki, jadi ketika kami bertemu, dia senang sekali dan
menganggap aku seperti kakak kandungnya. Selama dia menginap di rumah,
dia selalu ingin dekat denganku terus. Aku menganggap biasa-biasa saja
dan tidak ada pikiran lain.
Ketika dia mau pulang, dia mau pulang
sendirian, orang tuaku sepertinya tidak tega melepas dia pulang
sendirian, akhirnya aku disuruh mengantar dia pulang ke Jawa Timur,
padahal waktu itu aku sedang berobat jalan karena aku mengidap alergi
serpihan kulit manusia (aneh ya..? aku saja dulu tidak percaya). Aku
harus datang ke dokter pribadiku setiap hari Selasa dan Jum’at buat
disuntik.
Tetapi, menurutku tidak apa-apa karena
kupikir nanti jika sudah sampai di sana, aku langsung pulang saja
pikirku. Jadilah aku mengantar dia pulang ke Jawa Timur. O.. iya,
sebelum terlalu jauh aku bercerita, kuperkenalkan dahulu diriku, namaku
Padi dan nama sepupuku Ana. Di jalan kami bercerita tentang daerah
asalnya yang ternyata ada di kawasan pantai utara Jawa Timur.
Kami mampir ke Madiun dulu, karena
katanya dia mau mengambil baju-bajunya yang mau dibawa sekalian dicuci
di rumah. Sampai di Madiun, kira-kira pukul 5:00 sore, kami menuju
tempat kosnya yang sederhana di komplek Akabri. Setelah selesai dengan
urusan di Madiun, kami langsung pergi lagi meneruskan perjalanan. Di
perjalanan, aku bertanya dengan dia.
“Eh, An.. dari sini sampai ke kotamu berapa lama sih..?” tanyaku.
“Ya… mungkin kira-kira 8 jam Mas..” katanya.
Dalam hati aku berpikir, “Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan…”
“Ya… mungkin kira-kira 8 jam Mas..” katanya.
Dalam hati aku berpikir, “Wah, bakalan capek di jalan nih.. sialan…”
Waktu berlalu, kira-kira pukul 9 malam,
kami masih ada di atas bis jurusan ke kotanya. Malam itu kurasakan
sangat dingin, apalagi ditambah tiupan angin yang sangat kencang. Di
dalam bis yang lumayan penuh itu, aku duduk di kursi kedua dari belakang
sejajar dengan Ana. Pintu bis yang ada di sebelah kananku ternyata
tidak bisa ditutup, karena kuncinya rusak kata kernetnya.
Ana yang merasa kedinginan terkena
tiupan angin, bingung mau bagaimana sebab dia tidak membawa jaket atau
sweater buat penghangat, sedangkan aku sendiri tidak masalah. Kemudian
kutawarkan dia untuk pindah tempat duduk di sebelah kananku, yah..
lumayan dia terlindung dari angin oleh badanku.
Sekitar 10 menit setelah itu, dia bilang
katanya dia merasa mengantuk, aku tawarkan dia untuk tidur saja di
pangkuanku. Dia mau dan langsung dia rebahkan kepalanya di pahaku, waktu
itu aku sebenarnya agak kawatir dengan penumpang lainnya. Jangan-jangan
ada yang berpikiran macam-macam tentang kami, meskipun begitu aku
akhirnya memutuskan untuk santai saja. Si Ana dengan cepat tertidur
dengan pulasnya, tanganku kutaruh di atas punggungnya biar dia merasa
lebih hangat.
Tawaranku untuk tidur di pahaku ternyata
berbekas sekali di hati sepupuku ini, sepertinya dia merasa ada sesuatu
yang lain yang dirasakannya setelah dia merebahkan kepalanya di pahaku.
Mungkin karena dia masih anak SMU yang belum pernah merasakan kasih
sayang dari seorang cowok, tetapi kok ya kebetulan justru dengan kakak
sepupunya sendiri.
Tidak terasa, bis telah memasuki
terminal di kotanya. Waktu itu jam 1 pagi. Kami langsung mencari becak
untuk pulang ke rumahnya. Sampai di rumahnya yang sederhana (bapaknya
bekerja sebagai sipir penjara dan ibunya guru SD), aku langsung disambut
oleh Omku. Kami berbincang-bincang sejenak sambil nonton TV.
Tidak lama kemudian, Omku minta diri
untuk tidur. Aku mempersilakan Omku untuk tidur. Aku sendirian yang
belum merasa mengantuk dan meneruskan melihat TV. Si Ana sendiri ada di
kamarnya sedang bicara dengan adiknya. Kira-kira 5 menit kemudian,
kudengar ada orang datang masuk ke ruang TV dimana aku berada, yang
Ternyata Ana.
Aku bertanya pada dia, “Lho.. An, kamu ngga tidur? Kan udah malem, bahkan pagi nih!”
“Lah.. mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?” dia balik bertanya.
“Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih.”
“Iya deh… tapi Ana boleh nemenin Mas ngga?”
“Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong…”
“Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin.”
“Lah.. mas sendiri gimana? Kok ngga tidur juga?” dia balik bertanya.
“Mas kan udah biasa melek sampai pagi, lagian acaranya bagus nih.”
“Iya deh… tapi Ana boleh nemenin Mas ngga?”
“Boleh aja, asal bikinin Mas kopi panas dong…”
“Ih.. Mas curang.. Oke deh Ana buatin.”
Kemudian dia beranjak pergi ke dapur
untuk membuatkan kopi untukku. Sewaktu dia jalan ke dapur, dia melewati
ruangan makan yang gelap, sedangkan ruang dapurnya sendiri dibiarkan
terang, sebab Omku orangnya suka makan, jadi kalau malam dia sering ke
dapur untuk cari makanan.
Sewaktu dia melewati kamar makan yang
kebetulan bisa terlihat dari tempat dudukku, aku agak kaget karena
kulihat dasternya kelihatan menerawang terkena cahaya dari dapur. Si Ana
ini sebenarnya tidak hanya manis tetapi juga cantik, tubuhnya agak
gemuk, tinggi sekitar 158 cm, ukuran dadanya berapa ya? Tidak tahu..
Kulitnya sawo matang dan yang paling menarik adalah matanya yang khas
cewek Jawa, tidak besar juga tidak kecil.
Sekilas kulihat bentuk tubuhnya sewaktu
dia melewati ruang makan. Jantungku merasa agak berdebar karena aku kan
laki-laki, jadi lihat yang seperti itu kan, ya gimana gitu. Selesai dia
membuat kopi, segera dia menuju ke arahku, terus dia bergabung nonton
MTV. Sejenak aku lupa akan kejadian yang mendebarkan tadi (menurutku
lumayan mendebar kan lho).
Kami berbincang-bincang sambil mengomentari pemenang-pemenang yang sedang diumumkan di TV.
Tiba-tiba dia nyeletuk, “Mas.. tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas..”
“Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas..?” kataku.
“Oke deh!”
Tiba-tiba dia nyeletuk, “Mas.. tadi enak lho tiduran di pangkuannya Mas..”
“Kenapa emangnya? Mau lagi ya, sini deket-deket Mas..?” kataku.
“Oke deh!”
Kemudian dia mendekat ke arahku dan
merebahkan kepalanya di pahaku lagi. Nah, sekarang aku mulai berpikiran
macam-macam nih, karena kan dia hanya memakai daster dan di dalam
dasternya hanya ada CD dan BH saja. Mau tidak mau batangku mulai
bereaksi pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu. Masih sekitar 10 menit kami
berbincang-bincang, tanganku kutaruh di atas pinggulnya, dan kurasa dia
tidak keberatan. Lama-lama sepertinya dia mengantuk dan mulai
sembarangan kalau menjawab pertanyaan atau komentarku.
“An.. geser dikit dong, soalnya pahaku kesemutan nih! Sebentar, ganti pake bantal aja yah…?”
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di sofa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pikiranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi… lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
Kemudian kuangkat kepalanya, kupindahkan dia ke bantal yang ada di sofa, sedangkan kakinya kuangkat ke atas pahaku. Singkat cerita, dia sudah tertidur dengan pulas. Pikiranku mulai keluar pikiran iseng, tanganku aku rabakan di kakinya. Sambil pura-pura memijat, dari bawah pelan-pelan naik ke atas, terus turun lagi, naik lagi… lama-lama aku memijatnya terlalu naik sampai hampir menyentuh pangkal pahanya. Rupanya dia terbangun.
“Ngapain Mas..?”
“Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?”
“Mmm.., boleh juga.. tapi mijitnya jangan keras-keras ya Mas…”
“Oke An..”
“Eh.. ngga kok cuman mijitin, kan kamu capek barusan abis naik bis jarak jauh?”
“Mmm.., boleh juga.. tapi mijitnya jangan keras-keras ya Mas…”
“Oke An..”
Nah, aku teruskan kembali memijatnya,
tetapi kali ini mijatnya lain, aku kan sedikit-sedikit pernah baca
tentang pijatan erotis, maka aku mencoba untuk mempraktekkannya
sekarang. Pertama kuletakkan tanganku di telapak kakinya, terus kucari
simpul yang bisa membangkitkan gairah seksnya.
“Nah, ketemu nih…” batinku.
Pelan-pelan kupijat bagian itu sambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Pelan-pelan kupijat bagian itu sambil tanganku yang satunya juga memijat-mijat paha kanannya.
Setengah sadar dia bertanya, “Mas, kok enak banget sih pijitannya?”
“Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih hebat.” jawabku.
“Tenang aja deh, yang ini belum apa-apa, entar ada yang lebih hebat.” jawabku.
Lama kelamaan dia jadi tidak merasa
ngantuk, tetapi menikmati pijatan-pijatan tanganku sambil mengeluarkan
suara lenguhan yang sangat merangsang, “Nngggh… ngghh… enak loh Mas…
agak naik dikit Mas.. yang ini lho di atas dengkul…, ya.. di situ…
terus.. terus..”
Aku tahu dia tidak sadar kalau sedang
aku kerjain. Lama-lama kulihat dia sepertinya mau bangkit dari tidurnya.
Kemudian waktu kubiarkan, ternyata dia tiba-tiba memelukku dan berusaha
mencium bibirku. Aku sendiri menyambut ciumannya dengan bersemangat.
“Wah, lha ini nih yang kunanti,” batinku.
“Wah, lha ini nih yang kunanti,” batinku.
Ciumannya lumayan dahsyat, sampai
lidahnya masuk ke mulutku seperti ular. Lidahku sendiri jadi tidak mau
kalah menyambut lidahnya yang masuk ke mulutku (heran juga anak ini kok
bisa senekat ini pikirku). Dan ternyata, kok luar biasa ciummannya untuk
ukuran anak SMA yang belum pernah pacaran, tangannya melingkar di
punggungku dan berusaha masuk ke dalam t-shirtku.
Gerakan tubuhnya terlihat sekali
terbakar oleh rangsangan yang kuberikan melalui pijatan tadi, tubuhnya
naik turun sambil sesekali bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lama-lama
daster yang dia kenakan tertarik ke atas oleh karena gerakannya
tersebut, dan tanganku pun bisa leluasa untuk memegang pantatnya. Dia
memakai celana dalam yang tipis berenda. Pelan-pelan kumasukkan tanganku
ke dalam CD-nya dari atas.
Aku berhasil memegang pantatnya, wah..
seketika aku merasakan suatu gelora dalam diriku, sepertinya aku sendiri
mulai terserang rangsangan yang sangat kuat. Aku pijat-pijat pantatnya,
sementara kami masih saling berpagut, dia sendiri terlihat sangat
menikmati pijatan tanganku pada pantatnya. Lalu aku mulai menaikkan
tanganku, berusaha untuk membuka dasternya. Tanpa hambatan, aku berhasil
menaikkan dasternya sampai ke bagian leher, kudorong dia pelan-pelan ke
belakang, dia berusaha untuk tetap memelukku.
Aku berbisik padanya, “An.. tolong kamu mundur sebentar, aku tolong kamu nglepasin dastermu.”
Dia mengangguk pelan, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
“An.. gimana kalo semuanya aku buka…?” tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, “Silakan Mas…”
Kubuka pelan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
“Ehm… Mas.., Ana sayang sama Mas…” katanya.
Dia mengangguk pelan, lalu kubuka dasternya. Kulihat tubuhnya yang mulus hanya ditutupi BH dan CD saja.
“An.. gimana kalo semuanya aku buka…?” tanyaku.
Ternyata ia mengangguk mengiyakan, “Silakan Mas…”
Kubuka pelan-pelan BH-nya sambil kubelai dua bukit di dadanya dengan lembut.
“Ehm… Mas.., Ana sayang sama Mas…” katanya.
Aku tidak menjawab perkataannya.
Kemudian kudekatkan wajahku ke buah dadanya dan mulai mengulum-ngulum
pucuk bukitnya. Dia terlihat sangat menikmati perlakuanku tersebut,
matanya terlihat sayu dan sepertinya mengharap yang lebih dari sekedar
dikulum pucuk bukitnya.
Aku menengok ke arah jam dinding yang
terletak di atas pintu, jarum menunjukkan pukul 12:08 malam. Aku sempat
berpikir, sebenarnya bahaya kalau tiba-tiba Om atau Tanteku memergoki
kami yang sedang asik di sini. Sekejap aku memutar otak, aku lalu
berbisik ketelinga Ana.
“An.. kita pindah ke kamarku aja yah?”
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, “Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?”
Dia tersentak mendengar bisikanku. Aku sendiri kaget, “Apaan nih? Kok jadi medadak berubah?”
Aku rasakan ternyata Ana sepertinya
tersadar atas apa yang sedang diperbuatnya. Dengan terburu-buru, dia
menyambar pakaiannya dan berusaha lari menuju kamarnya. Cepat sekali
kejadian itu berlalu, aku sendiri tidak sempat melakukan apa-apa, aku
hanya melongo seperti Mandra diputus Munaroh. Gila, pembaca tahu sendiri
kan? Lagi enak-enak bercumbu, tidak tahunya putus di tengah jalan.
Tetapi aku sendiri maklum, sebenarnya Ana adalah anak yang taat
beribadah. Dan kuyakin yang barus saja kualami, sebenarnya dia
melakukannya di bawah sadar.
Paginya, aku bangun sekitar pukul 9:00,
ternyata aku semalam ketiduran di depan TV. Aku ngucek-ucek mataku
sambil mencari dimana kacamataku, agak lama kucari, tetapi tidak ada.
“Mana ya?” aku bergumam pelan.
“Mana ya?” aku bergumam pelan.
Kebetulan Tante yang berjalan melewati ruang TV menuju dapur mendengar gumamanku.
“Cari apa Di?” tanya Tanteku.
“Tante liat kacamata Padi ngga?”
“Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi,” sambil dia berjalan menuju ke arahku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, “Yep.. nanti dicari lagi deh Tante.. biar Padi mandi dulu.” kataku.
“Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya.”
“Oke Tante..” sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
“Cari apa Di?” tanya Tanteku.
“Tante liat kacamata Padi ngga?”
“Ngga tuh.. mungkin jatuh di bawah meja, coba cari lagi,” sambil dia berjalan menuju ke arahku ingin membantu mencari.
Dicari-cari sudah lama, tetap tidak ketemu, “Yep.. nanti dicari lagi deh Tante.. biar Padi mandi dulu.” kataku.
“Oke lah, nanti Tante bantu lagi carinya.”
“Oke Tante..” sahutku.
Aku bergegas menuju ke kamarku, mengambil peralatan mandiku.
Kamarku terletak di sebelah kamar Ana,
sempat kulihat dari celah kamar yang tidak tertutup semua. Ana masih
kelihatan pulas tidurnya. Mungkin dia tidak bisa tidur setelah kejadian
tadi malam. Habis mandi aku menuju ke ruang TV lagi untuk mencari
kacamataku yang masih sembunyi. Ternyata tante sudah ada di sana sedang
nonton TV.
Aku tanya ke tante, “Ketemu ngga kacamatanya Tante?”
“Ngga tuh Di.. udah tante cari dimana-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh.”
“Waduh… gimana nih… susah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata,” pikirku, “Ya apa mau dikata, kalo lagi apes, gini deh jadinya.”
“Ngga tuh Di.. udah tante cari dimana-mana ngga ada, sampai-sampai sekalian Tante ngebersihin ruang ini deh.”
“Waduh… gimana nih… susah deh. Aku kan ngga bisa baca kalo ngga pake kacamata,” pikirku, “Ya apa mau dikata, kalo lagi apes, gini deh jadinya.”
Pukul 9:30, kulihat kamar Ana sudah
terbuka, beberapa menit kemudian Reni (ini nama adiknya) bergabung
dengan kami di ruang TV sambil membawa nampan berisi 4 gelas teh.
Aku tanya dia, “Kok cuman empat gelasnya Ren?”
Aku tanya dia, “Kok cuman empat gelasnya Ren?”
“Ooo, Papa kan udah berangkat kerja Mas.., jadi Reni bikinnya cuman 4.” jawabnya.
“Gitu ya?” sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota Tuban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
“Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?” tanyanya.
“Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana,” spontan aku menyahut, “Heh! Itu pasti kacamataku.”
“Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!” sahut Tante, “Sana cepet ambilin!”
“Gitu ya?” sahutku.
Kami lalu berkumpul membicarakan keadaan Kota Tuban, tiba-tiba si Reni bertanya ke Tante.
“Ma.. kacamata yang di kamar Reni itu punya siapa sih?” tanyanya.
“Eit! lha ini dia nih si kacamata.. ternyata ngumpet di sana,” spontan aku menyahut, “Heh! Itu pasti kacamataku.”
“Betul.. itu pasti kacamatanya Mas Padi, Ren!” sahut Tante, “Sana cepet ambilin!”
Reni lalu berdiri dan mesuk kamar untuk
mengambil kacamataku. Aku berpikir, mungkin kacamataku semalam kesangkut
di bajunya Ana. Sesaat kemudian Reni kembali membawa kacamataku, aku
sempat was-was, moga-moga Tante tidak curiga kenapa kok kacamataku
sampai bisa mampir kesana. Memang ternyata dia tidak curiga sama sekali.
Pukul 10:00, Tante pamit mau berangkat
ke pasar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, si Reni ikut.
Aku ditinggal sendirian. 5 menit waktu berlalu, aku mulai bosan, terus
aku menuju teras depan ingin merokok. Di teras ternyata ada koran edisi
hari itu, aku tertarik untuk membacanya. Kubolak-balik halamannya, tidak
ada yang menarik. Bosan lagi deh, ngelamun jadinya. Aku teringat
kejadian tadi malam.
Dalam hati aku berpikir, “Sekarang di
rumah cuman ada aku berdua sama Ana. Wuih! kalo… hehehe kalo… misalnya
aku iseng gimana ya?”
Akhirnya, ternyata aku nekat juga.
Akhirnya, ternyata aku nekat juga.
Aku bangkit dari tempat dudukku, masuk
ke dalam. Sampai di depan pintu kamarku, aku punya ide. “Mmmm harusnya
pintu depan kututup ya, terus aku pasangkan kaleng krupuk di bagian
dalam, biar kalo kebuka dari luar kalengnya kegeser dan bikin suara
brisik.” pikirku.
Cepat-cepat kukembali ke ruang tamu dan
melakukan rencanaku. Setelah itu, aku kembali lagi ke kamar, hati-hati
kuintip ke dalam kamarnya Ana, ternyata dia masih pulas tertidur. Aku
berjingkat masuk ke kamarnya, perlahan aku duduk di samping tidurnya.
Dia tidurnya mengorok hingga aku mau tertawa waktu itu, tetapi kutahan
karena takut dia terbangun. Dengan hanya diterangi lampu baca (kamarnya
tidak ada jendelanya), kupandangi wajahnya lama. 5 menit lebih
kupandangi dia, semakin lama semakin manis.
“Gila ya, dengan adik sepupu kok seperti itu?” tapi pikirku, “Biarin aja lah, iseng-iseng berhadiah.”
Kemudian aku mulai mencoba membelai
rambutnya, pelan tetapi pasti. Dia tidak bereaksi, dia tidurnya brukut
(memakai selimutnya sampai menutupi leher). Aku berusaha membuka
selimutnya perlahan, kutarik ke bawah dan dia tetap tidak bereaksi.
Kumasukkan tanganku ke dalam selimutnya sambil berusaha mencari
payudaranya. Dengan tanpa kesulitan, tanganku sudah memegang
payudaranya, tetapi masih terhalang dasternya.
“Eit… nanti dulu… ternyata dia ngga pake BH! Berarti semalam dia ngga pake BH-nya lagi dong, wah asik nih…” pikirku.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Lalu kumasukkan tanganku melalui lubang di antara kancing dasternya. Tidak susah juga, tanganku sudah memegang daging empuk dengan tonjolan di puncaknya.
Ana menggeliat, agak keras menggeliatnya, dia terbangun.
“Mampus gua,” pikirku.
Dia melotot sambil teriak, “Lepasin dong Mas… apa-apaan nih Mas?”
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, “An… kamu ngga inget semalem ya?”
“Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!”
“Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho… kenapa ngga sekalian aja?” rayuku.
“Mampus gua,” pikirku.
Dia melotot sambil teriak, “Lepasin dong Mas… apa-apaan nih Mas?”
Aku gelagapan berusaha mencari alasan, “An… kamu ngga inget semalem ya?”
“Lupain aja Mas! Ana ngga mau lagi, ngga boleh, entar dosa Mas!”
“Tapi Ana semalem udah ngelakuin dosa lho… kenapa ngga sekalian aja?” rayuku.
Kali ini dia benar-benar marah. Ana
teriak-teriak menyuruhku keluar dari kamarnya. Aku turut saja, untung
letak rumahnya berjauhan dengan tetangga, jadi aku tidak takut
teriakannya terdengar tetangganya.
Wah… gagal nih ceritanya.., aku akhirnya
hanya meraba-taba batang kemaluanku yang menganggur karena tidak jadi
dipakai. Aku duduk di ruang TV lagi. Melihat acara tarian Bangkok,
lumayan lah buat obat, melihat penyanyi Thailand yang cantik-cantik.
Sebentar kemudian Ana keluar dari kamarnya, dia menuju ke arahku. Aku
berusaha tidak peduli, dia lalu duduk di dekatku.
Katanya, “Mas maapin Ana ya? Ana udah bentak-bentak Mas…”
“Ngga papa An.., Mas yang salah.” balasku.
“Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!” jelasnya.
“Ngga papa An.., Mas yang salah.” balasku.
“Sebenarnya Ana sayang sama Mas, tapi kita kan masih bersaudara, apalagi nanti kalo ketahuan ama Papa-Mama kan bisa berabe Mas!” jelasnya.
“Ya sudah.. lupain aja An, toh kamu masih muda. Nanti juga pasti ada cowok lain yang lebih pantas buat kamu.” lanjutku.
“Iya Mas, Mas… Ana mau ngasih sesuatu buat Mas.”
“Apa An?” tanyaku.
“Liat sini deh Mas..” (dia mulai tidak kaku lagi)
“Iya Mas, Mas… Ana mau ngasih sesuatu buat Mas.”
“Apa An?” tanyaku.
“Liat sini deh Mas..” (dia mulai tidak kaku lagi)
Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba dia mendekatkan bibirnya ke arah bibirku.
“Mmpphh…”
“Plas!” jantungku spontan berdegup keras, “Kok tau-tau nyium sih?” pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
“Mmpphh…”
“Plas!” jantungku spontan berdegup keras, “Kok tau-tau nyium sih?” pikirku, tetapi kunikmati saja, enak sih.
Pertamanya dia hanya mau mengecup saja,
tetapi kulingkarkan tanganku di lehernya, dan kudekap dia. Dengan lembut
kukecup bibirnya, dia tidak berontak ternyata, aku pererat dekapanku,
dada kami sudah saling menempel. Aku merasakan kalau dia masih belum
memakai BH-nya. Dengan perlahan kubelai punggungnya, dasternya yang
terbuat dari sutera terasa halus sekali, sensasinya justru membuatku
jadi semakin ON saja.
Coba saja pasangan anda disuruh pakai
lingerie yang bahannya sutera, ditanggung kalau diraba pasti enak
sekali. Lama kami berciuman dengan posisi itu, akhirnya capai juga aku.
Kulepas pelukanku dan mengakhiri ciuman.
Aku berkata pada Ana, “Sini An… Mas pangku..”
“Ngga ah Mas… nanti kayak tadi malem deh jadinya…!”
“Percaya deh sama Mas… ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?”
“Ngga ah Mas… nanti kayak tadi malem deh jadinya…!”
“Percaya deh sama Mas… ngga sampe ngelakuin yang ngga-ngga kok, okey?”
Dia akhirnya mengalah, mungkin dia masih
ada rasa ingin juga, dia juga tahu kalau sekarang kami hanya berdua
saja di rumah, So? Why not?. Dia duduk di pangkuanku menghadap TV,
tanganku bergerak dengan bebas di dadanya.
Kuraba dadanya sambil berkata, “An.. Ana ngga marah-marah lagi nih?”
“Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen…” pintanya.
“Okey An!”
“Biarin lah Mas.. udah terlanjur nih, tapi janji ya jangan kebablasen…” pintanya.
“Okey An!”
Dari belakang, sambil tanganku membelai
payudaranya, kulihat dia memejamkan matanya menikmati belaian tanganku.
Tanganku meraba payudaranya dengan hati-hati, penuh perasaan aku
membelainya, aku sendiri memejamkan mataku jadinya. Pelan tapi pasti,
tanganku bergerak turun menuju perutnya. Agak dekat dengan V-nya
kugunakan kuku jariku yang agak panjang untuk membangkitkan rangsangan
di perutnya. Kulirik dia, terlihat dia menahan perutnya dengan membuat
kaku daerah itu.
Dia menikmati perbuatanku, perlahan
dasternya kutarik ke atas, dia diam saja, ujung dasternya sudah sampai
ke pahanya. Sedikit lagi pasti aku bisa meraih celana dalamnya. Akhirnya
sampai juga, CD-nya sudah tidak tertutup lagi, sekilas kulihat bercak
basah di ujung V-nya. Tanpa berpikir lama, kupindahkan tanganku ke sana,
tanganku merasakan memang di daerah itu sudah basah. Kusimpulkan pasti
dia sudah terangsang berat.
Lalu kuselipkan tanganku ke dalam
CD-nya, tetapi dia kali ini menahan tanganku supaya tidak masuk ke sana.
Aku urungkan niatku untuk itu, tanganku hanya menggosok-gosok dari luar
saja. Kemudian terlihat dia mengeluarkan lenguhan dan badannya
menegang, seperti menahan sesuatu. Orgasme rupanya. Lalu badannya
melemas lunglai di pelukanku.
Tanganku yang masih berada di
selangkangannya merasakan kalau CD-nya bertambah basah. Kemudian Ana
memandangiku. Lama kami berpandangan.
Ana kemudian bicara, “Mas, kita lakukan yuk. Ana udah ngga tahan…”
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Wah, benar-benar kejutan..! Ana tiba-tiba berubah pikiran. Hal ini tidak akan kusia-siakan. Tanpa bicara lagi, langsung kucium dan kuremas dadanya yang masih tertutup daster. Ana melenguh keenakan karena remasan itu. Kemudian aku melepas remasannya. Kupandangi dadanya di balik dasternya, kupandangi seluruh tubuhnya, kulitnya yang sawo matang. Kemudian aku melepas dasternya karena akan merepotkan saja.
Kini ia polos tanpa satu benang pun
menutupi tubuhnya. Kemudian aku membopongnya ke kamar tidurku dan
kubaringkan ia di tempat tidur, lalu kuciumi seluruh tubuhnya. Tubuh Ana
bergetar hebat, menandakan bahwa dia baru pertama kali ini melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya. Kemudian aku mencium dan menjilat
bagian perutnya dan mulai ke bawah dan mulai meraba serta membuka kedua
pahanya degan kedua tanganku.
Tangan kananku membuka belahan vaginanya
sedangkan seluruh bagian mulutku mulai mengolah bibir-bibir vaginanya.
Tangan kiriku masih meremas buah dadanya yang sebelah kanan. Aku
merasakan adanya cairan yang mulai membasahi permukaan bibir vaginanya.
Aku terus menyedot dan menggigit-gigit perlahan labia mayoranya dengan
asyik, sedangkan tangan kiriku sekarang meraba-raba klitorisnya dengan
cairan pelumas dari lubangnya.
Asyik sekali, karena terlalu
keasyikannya, secara tidak sadar, ada dua tangan menjambak rambutku, aku
tidak menghentikan aktivitasku. Mulanya kupikir hanya gerakan
kenikmatan yang diterimanya secara erotis. Eh, kok tambah lama terasa
ada goyangan perlahan di bagian selangkangannya.
Begitu pula tanpa kusadari, ada
suara-suara nafas tertahan dan jambakan di rambutku bukan lagi jambakan
pasif, tetapi mulai membelai dan memegang kupingku. Aku tiba-tiba sadar.
Dia benar-benar menikmatinya. Aku termanggu duduk di antara
selangkangannya dan melihat ke arah wajahnya.
“Kok.., berhenti Mas..?” suaranya berat perlahan dengan tatapan wajah yang sayu.
“Ehh.. terusin Mas… hhh… kurang dikit lagi..!” suaranya tertahan.
“Ehh.. terusin Mas… hhh… kurang dikit lagi..!” suaranya tertahan.
Aku masih terduduk bingung dan
memandangnya dengan pandangan bodoh. Dan yang menjengkelkan, batang
kejantananku tidak berkompromi. Dia tegak mengacung, sehingga mencuat di
antara kaosku. Kepalanya tampak licin karena cairan bening yang keluar.
Sebenarnya batang kejantananku lumayan besar dan panjang, sehingga
tampak mencuat tinggi. Tiba-tiba Ana bangun, dan duduk di hadapanku,
memandangku dengan sayu.
Tiba-tiba tangannya mulai bergerak ke
arah batangku, dan memegang lama sambil tersengal-sengal sehabis
melumatnya. Kemudian memandangku perlahan dan meletakkan dirinya
telentang di ranjang. Ana berdiri di atas tempat tidur dan berjongkok di
depanku. Kemudian dia membuka kedua pahanya dan mengangkat lututnya ke
atas sehingga lubangnya terlihat.
Ia meraba permukaan vaginanya sambil perlahan memandangku dan berkata, “Ayo Mas… masukin..!”
Aku seperti tersihir, antara bingung dan
nafsu, menggerakkan diri untuk berlutut di antara kedua pahanya dan
memegang kepala batangku yang licin terkena ludahnya dan mengarahkannya
ke lubang merah mengkilat itu. Sejenak aku lupa bahwa dia masih belasan
tahun, yang kurasakan secara reflek setelah dikenyot habis-habisan
olehnya, ialah bahwa ia sudah tidak perawan lagi.
Dan, “Ssleeeppp..” ketat tetapi tidak
begitu menjepit dan tanpa hambatan sama sekali (benar dugaanku). Aku
menusukkan seluruh panjang batangku ke dalam lubang itu, dan hebatnya
seluruh panjangnya batang kejantananku itu masuk total ke dalamnya serta
membiarkannya sejenak merasakan denyutan hangatnya. Ana melenguh agak
keras. Aku khawatir juga karena dia akan merasakan sakit di bagian dalam
vaginanya. Tetapi karena malaikat nafsu lebih berkuasa, ya sudah aku
santai saja dan mulai menarik batangku itu dari dalam lubangnya dan
memasukkannya lagi seluruhnya.
Entah karena apa, aku tidak begitu
merasakan rasa nikmat yang cepat naik. Memang terasa basah, licin dan
enak tetapi, ya lebih karena ini memang sedang bersetubuh. Aku mulai
berpraktek dengan berbagai macam cara menusuk dan arah tusukan ke dalam
lubang vaginanya. Yang mulai mencemaskanku, Ana sama sekali tidak
berusaha menahan suaranya. Ia mulai melenguh dan mengerang keras-keras
ketika aku mulai mempercepat gerakanku. Aku antara cemas dan mulai
nikmat, tidak peduli lagi. Lagi pula suaranya mulai merangsangku dan ini
membuatku menusuk-nusuk dengan gerakan yang cepat dan keras.
“Aaahhh… aayooo Mass… aaduhh… cepat Masss..!” pintanya dengan nafsu.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
Dia mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya. Bunyi beradunya kemaluan kami mulai terdengar keras, berkecepak-kecepak dan aku mulai merasakan lereng gunung telah kucapai. Tinggal mendaki cepat dan sampai di puncak.
Tiba-tiba Ana menghentikan gerakanku,
dan menutup kedua pahanya sehingga terasa ada jepitan yang luar biasa di
sekujur batangku. Kemudian dia memandangku sayu. Aku tahu apa yang
dimaksudkannya dan mulai menggenjot lagi. Aku menjepitkan kedua betisnya
di antara leherku dan bertumpu pada kedua tangan, sedang aku membentuk
busur dengan tubuhku, merapatkan kedua pahaku sehingga terasa batangku
membesar dan mulai menusuk-nusuknya cepat.
“Aaahhh… sss…” terdengar bunyi-bunyian
antara suaranya yang merangsang dan bunyi kecepakan kemaluan kami yang
beradu, sedangkan aku sendiri mengeluarkan suara helaan nafas yang
cepat.
Beberapa menit kemudian, aku merasakan
aliran yang semakin cepat memenuhi pinggul dan seluruh tubuhku.
Keringatku telah mengucur deras.
Dan, “Annn… Annaaa… aaadduuhhh… ssss…
Ann..!” spermaku menyemprot deras ke arah perutnya. Aku mengerang keras
dan terus mengocok batang kemaluanku. Kemudian tanganku yang mulai
begerak ke arah vaginanya segera menusuk-nusukannya. Lama aku terus
menusuk-nusuk lubangnya karena rasa nikmatnya terus mengalir hingga
tidak berapa lama kemudian Anna berkata, “Masss… aaa… Maass… ssshhh…
aaddduuhh..!”
Ana menaikkan pelvisnya dan menerima
tusukan-tusukan terakhirku dengan denyutan dinding vagina yang terasa
cepat dan kenyal. Aku menindih tubuhnya yang kecil dan merasakan detak
jantung yang cepat di dadanya dan dengusan nafas hangat di ubun-ubunku.
Jariku masih menancap dalam di dalam vaginanya dan merasakan denyutan
yang tidak kunjung reda.
Kemudian aku tergeletak di sampingnya, aku berkata kepada Ana, “An… kamu sekarang mandi saja ya..? Kayaknya kamu bau deh…”
“Sialan… iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas… Ana udah dikasih pelajaran sama Mas.”
“Sama-sama An..”
Aku tidak merasa menyesal karena dapat
seperti yang kubayangkan (gadis yang benar-benar perawan). Yah,
lumayanlah bisa meraba-raba kan? Ana lalu berdiri hendak menuju ke kamar
mandi, sebelum dia pergi dia menoleh ke arahku lalu menunduk dan
menciumku sebentar. Aku belaikan tanganku ke dadanya dan V-nya.“Sialan… iya deh, Ana mandi, makasih ya Mas… Ana udah dikasih pelajaran sama Mas.”
“Sama-sama An..”