PENYESALAN SEORANG ISTRI
#PART_1
(PENAWARAN GILA)
***
"Hidup kok dari dulu begini-begini aja ya, Mas!" keluh Rosa.
Eza tak menjawab keluhan istrinya itu, dia sibuk memijat kaki Rosa.
"Pengen gitu kayak orang-orang, hidup serba enak, pengen apa aja bisa kebeli. Lah, kita? Tinggal aja di kontrakan kecil begini, makan juga nggak pernah tuh yang enak-enak amat, motor nggak punya, capek kalau mau kemana-mana kudu naik turun angkot, panas."
"Hidup jangan kebanyakan mengeluh, Dek! Di luar sana masih banyak yang lebih dibawah kita, loh!"
"Ya, mau gimana lagi, Mas? Nikah udah tiga tahun masih begini aja, nggak ada perubahan. Apa-apa serba nggak punya. Adek capek, Mas hidup dalam kekurangan terus!"
"Makanya, kalau habis gajian duitnya disimpan, jangan beli baju terus, toh baju di lemari sudah banyak, Dek."
"Ya, kan, Mas tau sendiri adek kerjanya jagain toko baju, masa iya pakai bajunya itu-itu aja, malu lah."
"Kalau duitnya abis terus, jangan nyalahin, Mas. Toh kamu juga kan yang habisin." Rosa hanya mengerucutkan bibirnya.
"Nyari kerjaan yang gajinya lebih gede sih, Mas?"
"Mau nyari yang kayak gimana lagi? Toh, kerjaan, Mas sudah enak, gaji juga kadang lebih dari UMR disini, dapet majikan baik, makan juga sudah terjamin. Nyari kerjaan sekarang susah, Dek. Apalagi Mas hanya lulusan SMA, kamu ini sebenarnya kurang bersyukur, Dek!"
" Iya, juga sih, Mas. Tapi, kan ...."
"Mas tidur dulu, Dek. Besok pagi-pagi Mas harus nganterin mbak Amaya ke Bandung." Eza memotong kalimat istrinya, ia menyudahi aktivitas memijatnya, lalu berbaring di ranjang, melepas penat setelah seharian bekerja.
***
"Kamu nggak masak, Dek?" tanya Eza.
"Makan di rumah Pak Drajat saja, Mas. Kan biasanya juga begitu," ucap Rosa santai.
Eza menghela nafas. Istrinya itu tak pernah mau yang namanya memasak makanan untuknya, bahkan segelas kopi pun tak pernah terhidang. Hanya karena Eza memang sudah mendapat jatah makan sendiri di rumah Pak Drajat. Rosa jadi abai akan tugasnya sebagai seorang istri, untuk memanjakan perut suaminya. Dia hanya akan membeli makanan untuk dirinya sendiri dan akan memakannya di tempat kerjanya.
"Yasudah, Mas berangkat dulu. Kemungkinan baru pulang lusa nanti," pamit Eza.
"Iya, Mas, nggak papa, kamu hati-hati dijalan, jangan ngebut kalau bawa mobil!" pesan Rosa.
Rosa mencium punggung tangan suaminya, sedangkan Eza membalas mencium kening dan mengelus rambut istrinya.
"Kalau ada apa-apa langsung kabarin, Mas, yah! Assalamu'alaikum."
Rosa mengangguk. "Wa'alaikum salam."
Eza berjalan kaki menuju rumah majikannya. Dia bekerja sebagai supir disalah satu keluarga kaya yang rumahnya tak jauh dari kontrakannya. Dulu sewaktu masih lajang dia ikut tinggal di rumah Pak Drajat, tapi, semenjak menikah Eza memutuskan untuk mengontrak.
***
"Jalan sekarang, Za!" perintah Amaya. Eza dengan sigap membukakan pintu belakang mobil.
"Bapak sama Ibu nggak jadi ikut, Mbak?" tanya Eza.
"Nggak, mereka mendadak ada urusan penting, jadi aku sendiri yang berangkat."
Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah mewah milik Pak Drajat. Membelah jalanan yang pagi itu sudah terlihat ramai oleh berbagai macam kendaraan.
Dulu Amaya adalah sosok yang sangat angkuh, bahkan ia tak pernah mau bertegur sapa atau mengobrol dengan para pekerja dirumahnya. Hingga suatu hari dia pernah hampir dibegal, tapi dengan tepat waktu Eza datang menyelamatkannya, walau Eza sendiri harus mendapatkan luka dibeberapa bagian tubuhnya, setidaknya Amaya selamat tak terluka sedikitpun. Sejak saat itu sikapnya terhadap Eza mulai berubah.
Diperjalanan kali ini keduanya saling diam tanpa pembicaraan, biasanya Amaya yang paling banyak bicara, tapi sekarang dia terlihat banyak diam dan menikmati perjalanan dengan memilih tidur.
Setelah sehari semalam, urusan di Bandung pun selesai, mereka kembali lagi ke Jakarta.
"Mas, besok aku mau main ke kontrakan kamu yah, boleh?" Amaya tiba-tiba bertanya.
Eza kaget karena delapan tahun dia bekerja disini, majikannya itu tak pernah sekalipun bertamu kerumahnya.
"Tapi, buat apa, Mbak? Kontrakan saya kecil, yang ada Mbak nggak bakalan betah disana."
"Mau main saja, boleh, yah?"
Eza akhirnya mengangguk mengiyakan.
***
Keesokan harinya Amaya beneran datang ke kontrakan Eza, bukan hanya sendiri melainkan Pak Drajat dan Bu Inge pun ikut serta. Mereka datang dengan membawa banyak bingkisan.
Eza dan Rosa tentu kaget melihat kedatangan majikannya itu, mereka pikir hanya Amaya saja yang akan datang.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, mari, Pak, Bu, Mbak, masuk. Maaf kalau kontrakannya kecil dan berantakan," ucap Eza. Mempersilahkan para tamunya masuk.
Mereka masuk, dan duduk di atas karpet yang sudah Eza sediakan. Eza dan Rosa menjamu tamunya dengan baik. Beberapa kue pun sudah Eza sediakan khusus.
"Maaf, ya, Pak, Bu hanya ini yang bisa kami hidangkan." Kata Eza dengan nada tak enak.
"Nggak papa, Za. Kami ini pemakan segala, kok, jadi pasti apa saja kita makan." Bu Inge menjawab dengan candaan.
Eza dan Rosa pun bisa menghela nafas lega.
"Ini, buat Mbak, semoga suka, yah. Nanti kalau ukurannya ada yang nggak pas bisa ditukar." Amaya memberikan beberapa paper bag kepada Rosa.
Mata Rosa membulat saat melihat isinya. Tas, sepatu, dan beberapa setel baju dengan merek terkenal. Dengan kalap dia membukanya satu persatu, mukanya berseri-seri, mulutnya tak henti-hentinya memuji barang didepannya.
Eza merasa malu akan tingkah norak istrinya itu, dengan segera dia menyenggol lengan istrinya tanda untuk berhenti, bagaimanapun aktivitas istrinya itu tentu dilihat oleh majikannya.
Rosa akhirnya sadar, dengan menahan malu dia berhenti dan kembali duduk manis.
"Jadi, ada perlu apa Bapak dan Ibu datang ke sini?" Eza memulai pembicaraan.
"Begini, Za. Bapak langsung aja, karena nggak suka bertele-tele. Kedatangan kami kesini ingin menawarkan sesuatu yang menarik buat kalian." Pak Drajat berkata dengan senyum penuh makna.
"Penawaran menarik?" tanya Eza.
"Ya, menikahlah dengan Amaya, tanpa menceraikan istrimu. Semua yang kalian minta pasti akan kami turuti!" ucap Pak Drajat Mantap.
Bersambung...